Muncul
paradigma negatif mengenai penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja),
sehingga K3 menjadi sulit untuk diterapkan dibeberapa perusahaan, paradigma
negatif ini terdapat di level manajemen maupun karyawan itu sendiri, antara
lain ;
·
K3 itu MAHAL
·
K3 itu hanya
program manajemen, sehingga karyawan tidak bertanggung jawab
·
Karyawan sudah
dibekali dengan APD itu sudah cukup
·
K3 terkadang itu
mempersulit pekerjaan
·
Kecelakaan
merupakan risiko dari pekerjaan
·
Dll
Paradigma
negatif tersebut muncul ketika penerapan K3 dirasa sudah stagnan (tidak ada
improvement) dan muncul berbagai jenis kecelakaan.
Kenapa kecelakaan kerja masih saja
sering terjadi ?
Melihat
kepada kejadian diatas, muncul lah beberapa teori kecelakaan dan safety, antara
lain :
1. Domino theory
2. Human factors theory
3. Swiss cheese model
4. Dll
Dari
teori-teori diatas, banyak yang menyimpulkan bahwa kelemahan Sistem Manajemen
lah yang dominan menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Akhirnya perusahaan /
organisasi mengupayakan pendekatan penerapan Sistem Manajemen dapat mencegah
terjadinya kecelakaan.
Sistem
manajemen K3 yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan tidak melakukan
peningkatan yang berkelanjutan (continual improvement) sehingga sistem yang
dirasakan oleh karyawan itu hanya sekedar untuk memenuhi tingkat pemenuhan dari
konsumen atau regulator (pemerintah). Sistem tersebut akhirnya lepas dari
tujuan awal dari K3 itu sendiri, yaitu “Melindungi keselamatan dan kesehatan
kerja tenaga kerja dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja”.
Melihat
dari permasalahan tersebut, praktisi-praktisi K3 mulai memikirkan bagaimana
melihat kematangan dari suatu sistem manajemen K3 sehingga tidak lepas dari
tujuan awalnya. Ada juga praktisi yang melihat masalah ini karena “budaya” K3
yang belum terbentuk, ada juga yang melihat dari “Kematangan” dari suatu sistem
manajemen tersebut.
Sebagus-bagusnya
suatu sistem manajemen K3 tanpa didukung oleh budaya K3 itu juga sia-sia,
begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, perlu ada penilaian untuk melihat
Kematangan / Kedewasaan Sistem Manajemen K3 dengan Tingkat Budaya K3 di
perusahaan.
Bagaimana Mengukur Tingkat
Kedewasaan K3 Suatu Perusahaan ?
Safety Maturity Model sudah dianalisa oleh praktisi-praktisi K3,
contohnya saja Fleming & Ladner, telah mempublikasikan bahwa tingkat
kedewasaan K3 dinilai menjadi 3 tingkatan, yaitu (1) dependent (2) independent,
dan (3) interdependent. Kemudian ada lagi dari UK Coal Journey model
menjelaskan tingkat kedewasaan K3 menjadi 5 tahapan, yaitu :
Gambar 1. UK Coal Journey Model
Tingkatan
diatas adalah pengembangan penilaian penerapan K3 antara “Sistem” dan “Budaya”.
Sistem yang dinilai disini berdasarkan UK Coal Safety Management System dan
penilaian budaya dengan mengembangkan antara Hudson Model dan Anglo Model.
Dari
pemaparan contoh-contoh teori diatas, kami mengembangkan lagi untuk mencari
metodologi penilaian tingkat kedewasaan K3 dengan menggunakan Sistem Manajemen
K3 yang spesifik ada di Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia sudah banyak menerapkan SMK3 PP No 50 2012
ini, namun mereka belum bisa melihat seberapa matang / dewasa penerapannya.
Lantas bagaimana cara menilainya?
Kami
mencoba untuk mengembangkannya dengan melihat elemen-elemen yang ada di SMK3
ini dengan menggabungkan 5 tahapan dari Anglo Model dan Hudson Model.
Sebelumnya kami melihat bahwa Safety Maturity Model ini dari konseptual nya,
antar lain : Sistem, Budaya & Teknologi.
Gambar 2. Contoh Konseptual Maturity Model
Dari
konseptual diatas, kami tuangkan 5 tahapan tersebut kedalam 12 Elemen yang ada
di SMK3 PP 50 tersebut, yang nantinya akan kami nilai secara keseluruhannya.
Untuk tiap tahapan memiliki nilai tersendiri, antara lain :
– Basic nilai :
0 - 25
– Reactive nilai : 26 - 45
– Planned nilai : 46 – 65
– Proactive nilai : 86 - 85
– Resillient nilai : 86-100
Gambar 3. Contoh Tingkat Kedewasaan K3 berdasarkan
SMK3 PP No. 50 2012
Penulis
Dody Indra Wisnu
HSE Consultant Sentral Sistem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar