Dalam salah satu
diskusi saya dengan salah satu konsultan pada saat mereview materi training,
tercetus argumentasi keras menkritisi konsep materi yang saya usulkan. “Maaf
Pak, menurut beberapa referensi yang saya baca, konsepnya tidak seperti itu.”
Mendapat jawaban argumentasi seperti itu saya sempat terhenyak dan berpikir
sejenak, menjadi ragu akan konsep yang saya ajukan. Apakah konsep saya memang salah
?
Kemudian saya
mengajak konsultan tersebut untuk membedah konsep saya secara aplikasi,
membedah perbedaan konsep yang sudah ada dengan konsep yang saya ajukan dan
hasil akhirnya kami setuju untuk menggunakan konsep yang saya ajukan.
Belajar dari
pengalaman tersebut, juga pengalaman dalam menghadapi client untuk program
improvement, saya menemukan satu petunjuk
penting yang seringkali menjadi hambatan pada perusahaan, “Terkukung dengan tradisi, asumsi, teori,
pengalaman yang biasa mereka gunakan”. Tradisi, asumsi, teori, pengalaman seringkali
membatasi pola pikir kita untuk berkreasi, membatasi ruang berpikir kita. Seharusnya
pola pikir kita tidak boleh dibatasi dengan tradisi, asumsi, teori pengalaman yang
sudah ada. Mungkin saja teori sebelumnya memang kurang akurat atau kita
menemukan suatu teori baru yang lebih optimal. Ambilah contoh teori tentang
bumi itu datar. Jika kita terkukung dengan teori bahwa bumi itu datar, sampai
sekarang kita tentunya masih percaya bahwa bumi itu datar. Teori
seharusnya menjadi suatu referensi bukan menjadi suatu kepercayaan yang
dipegang teguh seperti layaknya suatu Kitab Suci.
Berangkat dari
pengalaman inilah, ketika berargumen dengan orang lain, dan orang tersebut
menggunakan alasan teori, alasan asumsi, pengalaman, kebiasaan yang sudah
dilakukan bertahun-tahun, maka saya akan mengatakan “So What Gitu Loh ?? ”.
Bukan untuk
bersombong diri, tetapi untuk mengajak kita semua untuk berpikir kreatif
seluas-luasnya tanpa batasan, berpikir out of the box.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar