Sebagian besar orang memiliki sifat
ingin selalu dianggap baik di mata orang lain, sehingga itu membuat mereka
menolak sesuatu hal yang dapat memalukan/merugikan dirinya, termasuk sikap
penolakan terhadap kesalahan yang telah dilakukannya, apalagi jika kesalahan
mereka akan diketahui oleh banyak orang.
Begitu pula dalam dunia pekerjaan,
semua pekerja ingin selalu terlihat baik di mata atasan mereka sehingga membuat
mereka juga akan menolak dan melakukan pembelaan diri terhadap kesalahan yang
mereka lakukan. Hal tersebut juga memberikan pengaruh dalam membangun sistem
K3L di perusahaan, khususnya dalam pembuatan HIRADC/IADL (Hazard
Identification, Risk Assessment, and Determining Cotrol/Identifikasi Aspek
Dampak Lingkungan). Pembuatan HIRADC/IADL memerlukan input dari unsafe act dan
condition (perilaku dan kondisi tidak aman) di tiap proses/area pekerjaan
sebagai salah satu sumber bahaya/aspek di lingkungan pekerjaan yang selanjutnya
akan disampaikan ke pihak Manajemen untuk segera dapat diperbaiki. Oleh karena
itu, dokumen unsafe act dan unsafe condition harus disetujui
terlebih dahulu sebelum disampaikan ke manajemen.
Akan tetapi, yang terjadi adalah “penyangkalan”
ketika ingin meminta persetujuan dari unsafe act yang telah dilakukan
tersebut. Hal ini mungkin juga karena tidak mau kelemahan-kelemahannya dibuka
di publik, (“nggak kok, nggak seperti itu”). Sebagian bahkan hampir semua
pekerja akan sulit menerima dan menyetujui bahwa mereka telah melakukan unsafe
act dalam aktifitasnya sehari-hari, apalagi kalau diminta untuk
menandatangani dokumen unsafe act tersebut sebagai bukti bahwa mereka
telah melakukannya.
Oleh karena itu, banyak perusahaan
yang telah menggunakan media foto sebagai bukti bahwa pekerja telah melakukan
perilaku yang tidak aman dan media bukti pelanggaran yang tidak bisa disangkal.
Akan tetapi, bagaimana untuk perusahaan yang dilarang menggunakan foto
karena sistem/hasil produksinya bersifat rahasia? Maka akan sangat sulit sekali
memperoleh bukti persetujuan dari para pekerja. Sungguh sangat sulit memang
sedangkan yang kita inginkan adalah mereka mengakui secara terbuka (kesadaran).
Respon pertama yang timbul adalah
mereka akan saling lempar sana dan lempar sini, tidak ada yang mau
menandatangani dokumen tersebut, apalagi mengakuinya. Sebagai contoh adalah
pengalaman yang saya alami. Semua departemen yang terkait tidak ada satupun
yang mau menandatanganinya. Kepala unit bilang: “Dokumen ini yang berhak
menandatangani adalah kepala seksi.” Kepala seksi bilang: “Ya harusnya
pekerjanya sendiri dong. Lalu, siapa yang akan menandatanganinya? Akhirnya saya
mencoba untuk terus melakukan pendekatan kepada mereka dan memberikan
pengertian bahwa ini bukan ajang untuk menilai kesalahan, menjelek-jelekkan
atau menjatuhkan satu sama lain tetapi ini untuk melakukan improvement/perbaikan
sistem yang ada agar menjadi lebih baik lagi. Setelah saya memberitahu
seperti itu, maka mereka pun mau menandatanganinya, bahkan mereka menambahkan
dan menuliskan sendiri unsafe act & condition yang masih kurang
atau belum tercantum di dokumen tersebut. Berdasarkan keterangan di atas,
maka kita dapat mengambil pelajaran bahwa membangun sebuah sistem itu tidak
mudah, perlu usaha, kesabaran, komitmen yang tinggi, dan konsisten. Selain itu,
diperlukan sifat yang tidak menyerah untuk selalu mencoba mencari jalan keluar.
Selain itu juga, yang lebih menarik
lagi adalah kita bisa mengubah pola pikir seseorang melalui sebuah pendekatan
“perbaikan sistem” itu sendiri. Mudah-mudahan artikel ini dapat memberikan
manfaat dan pengetahuan sekaligus sebagai pelajaran untuk para pembaca dalam
membangun semangat baru dalam melakukan perbaikan terhadap sistem di lingkungan
kerja masing-masing.
Tetap semangat dan keep doing our best for improvement…….!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar