Berkecimpung
dalam pelaksanaan problem solving di banyak perusahaan, baik dalam pelaksanaan
problem solving dengan metode analisa sederhana, atau dengan metode QCC maupun
dengan metode yang lainnya saya menemukan ada satu kesalahan yang cukup fatal
yang banyak dilakukan oleh para praktisi dalam melakukan analisa problem
solving.
Banyak
praktisi yang melakukan analisa berdasarkan “TEORI KEMUNGKINAN” bukan
berdasarkan “TEORI FAKTA”. Ketika ada masalah, banyak praktisi yang langsung
masuk pada argumentasi “Mungkin karena …..” atau “Mungkin karena …..”.
Seringkali secara teori apa yang dikatakan memang benar, misalnya :
·
Operator tidak mengikuti instruksi kerja.
Memang benar jika operator tidak mengikuti instruksi kerja bisa terjadi masalah
·
Atau jig (alat bantu) bermasalah, yang
secara teori tentunya disetujui oleh semua orang bahwa jig (alat bantu) yang
bermasalah bisa mengakibatkan reject
·
Dan teori kemungkinan lainnya.
Kondisi
ini bisa saja terjadi karena banyak dari kita diajarkan untuk langsung
mengunakan tulang ikan ketika melakukan analisa masalah. Dan banyak dari kita
diajarkan untuk menggunakan tulang ikan untuk mencari kemungkinan penyebab.
Bahkan tidak jarang kita diajarkan untuk membuat tulang sebanyak-banyaknya,
menggali ide kemungkinan sebanyak-banyaknya hingga terkadang terkesan lebay J
(dahulu saya juga mengalami proses pembelajaran seperti ini).
Namun
apakah “TEORI KEMUNGKINAN” memang “MENJADI FAKTA” pada kasus yang sedang kita
hadapi ?? Seringkali secara hal tersebut memang benar dan tidak terbantahkan.
Namun “SECARA FAKTA” apakah teori kemungkinan tersebut memang terjadi pada
kasus yang sedang kita hadapi.
Dan
celakanya dalam melakukan problem solving, seringkali para praktisi tidak
melakukan klarifikasi Fakta terhadap teori kemungkinan. Mereka langsung melakukan
tindakan perbaikan berdasarkan “TEORI KEMUNGKINAN” yang diyakini oleh mereka.
Bahkan banyak pula program QCC yang melakukan validasi “TEORI KEMUNGKINAN”
dengan mengunakan metode Branstorming, urun rembuk, voting pendapat (misalnya
voting berdasarkan opini : 5 punya korelasi tinggi, 4 korelasi menengah, 3
korelasi sedang, 2 korelasi kurang, 1 tidak ada korelasi atau sistem penilaian
lainnya yang berdasarkan opini), bukan berdasarkan Fakta atau pengujian ilmiah.
Akibatnya analisa bukan dilakukan dengan menggunakan sistem
problem solving yang benar (pengujian ilmiah) tetapi berdasarkan SISTEM OPINI.
Untuk
mengatasi masalah inilah, saya kemudian merubah tahapan problem solving untuk
tidak menganalisa masalah pada tahapan pertama. Tahapan pertama dalam pelaksanaan
problem solving adalah “MELAKUKAN IDENTIFIKASI FAKTA”. Berdasarkan identifikasi
Fakta inilah, baru kemudian kita menyimpulkan penyebab masalahnya. Dengan cara
ini, kita diajarkan untuk bicara berdasarkan fakta bukan Opini.
Kelebihan
lain dari tahapan awal analisa melalui proses “identifikasi fakta” sebelum
pelaksanaan analisa adalah:
·
Fakta tidak bisa diperdebatkan, berbeda
dengan opini yang bisa diperdebatkan oleh semua orang. Diskusi menggunakan
fakta juga bisa mengurangi perdebatan yang tidak perlu, perdebatan yang terjadi
karena keyakinan seseorang akan “Teori Kemungkinan” yang ada dalam benak
mereka.
·
Identifikasi fakta juga seringkali
mempermudah, menuntun kita untuk menemukan penyebab yang
sebenarnya.
Mudah-mudahan
sharing ini bisa bermanfaat.
Salam
Transformasi
Imanuel
Iman
@imanueliman_ssc
Penulis buku Transforming
Organization
Tidak ada komentar:
Posting Komentar