Senin, 29 Juni 2015

Instrumen Pengelolaan Lingkungan Hidup Bukan Hanya Sekedar Dokumen Administratif



Kerusakan lingkungan hidup saat ini menjadi permasalahan yang sangat diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, pencemaran, gaya hidup, pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak bijaksana, menjadi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan kesejahteraan manusia. Jika kondisi kelestarian fungsi lingkungan baik, keberlanjutan keberadaan kehidupan dan kesejahteraan manusia akan lebih terjamin.  Di sisi lain, jika kondisi lingkungan buruk, keberlanjutan akan terancam. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. 

Setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh manusia pada dasarnya bukanlah proses alamiah, sehingga seringkali terjadi alam tidak mampu mereduksi limbah yang dihasilkan. Agar kehidupan manusia tidak terganggu atau gangguan terhadap kehidupan manusia tidak terlalu besar dan manusia mampu mereduksinya maka dalam setiap kegiatan/usaha/pembangunan, perlu mengetahui setiap karakteristik materi yang terlibat dalam proses kegiatan/pembangunan sehingga didapatkan pola pengelolaan secara benar untuk meminimalkan dampak negatif dan tetap mendukung keberlanjutan keberadaan, kehidupan dan kesejahteraan.

Dalam upaya mengendalikan kerusakan lingkungan hidup, Pemerintah Indonesia mewajibkan terhadap semua aktivitas/kegiatan/usaha yang berpotensi merubah rona lingkungan hidup atau menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup untuk menyusun instrumen pengelolaan lingkungan hidup. Instrumen pengelolaan lingkungan hidup dapat berupa dokumen lingkungan hidup seperti dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH), dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tergantung dari ruang lingkup, jenis dan skala kegiatan/usaha.

Seringkali pemrakarsa kegiatan/usaha menyusun dokumen lingkungan hidup hanya sebagai persyaratan adminstratif untuk mendapatkan izin lingkungan maupun izin operasional kegiatan/usahanya, tanggung jawab untuk mengelola lingkungan hidup seakan hilang dengan tersusunnya dokumen lingkungan hidup tersebut.Paradigma tersebut merupakan pemahaman yang salah, karena seharusnya instrumen pengelolaan lingkungan hidup atau dokumen lingkungan hidup merupakan dokumen pendamping teknis pada setiap proses dalam kegiatan/usaha tersebut. Jadi pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan tidak hanya sekedar rangkaian kata-kata yang tertuang dalam dokumen, namun apa yang dilakukan dalam proses suatu kegiatan secara otomatis terintegerasi dengan upaya pengelolaan lingkungan hidup. Banyak kegiatan/usaha belum menyadari bahwa dokumen tersebut merupakan tanggungjawab kegiatan/usaha yang wajib dijalankan. Rendahnya kesadaran, kepedulian dan komitmen dalam memelihara lingkungan menjadi faktor utama tidak berjalannya pengelolaan lingkungan hidup. Pertimbangan biaya yang harus dikeluarkan juga seringkali menjadikan faktor kegiatan/usaha enggan untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Padahal jika berfikir secara bijaksana, berapa biaya yang harus dikeluarkan apabila kegiatan/usaha tersebut melakukan pencemaran yang berat terhadap lingkungan hidup yang memicu konflik sosial dan berakibat pada ditutupnya usaha/kegiatan tersebut.

Kegiatan/usaha juga berkewajiban melaporkan secara berkala terhadap dinas teknis yang berkaitan dengan kegiatan/usahanya setiap 3 atau 6 bulan sekali sesuai komitmen yang tertulis dalam dokumen lingkungan hidup. Dengan cara tersebut dinas teknis dapat mengontrol apakah terdapat perubahan kondisi lingkungan yang siginfikan pada sekitar kegatan/usaha. Dinas teknis selaku pengawas pengelolaan lingkungan hidup juga perlu meningkatkan perhatiannya terhadap kegiatan/usaha yang tidak melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Karena rendahnya pengawasan dan tidak tegasnya implementasi kebijakan menjadi salah satu faktor penyebabkegiatan/usaha tidak menjalankan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang tertulis dalam instrumen lingkungan hidup.

 Penulis
Sya’bani Abdullah Amir

Senin, 22 Juni 2015

STRATEGI ITU UNIK



Terkadang perusahaan menyusun strategi yang masih terlalu umum, menggunakan strategi yang biasa diterapkan oleh orang awam, misalnya :
·         Mengunakan strategi semut (ada gula ada semut), mencoba peruntungan terhadap peluang yang secara “Nyata” Nampak. Peluang yang secara “Nyata” Nampak, tentunya mudah pula dilihat oleh orang lain. Orang lain tersebut kemudian ikut masuk mencari peruntungan. Akibat banyak orang masuk, pasar kemudian menjadi jenuh sehingga terjadi perang darah memperebutkan peluang.    

·         Menggunakan strategi yang telalu umum, strategi yang sangat basic, strategi yang hanya menggunakan logika sederhana. Misalnya meningkatkan sales dengan cara menambah personal sales (strategi work hard), mengurangi angka kemacetan dengan cara menambah luas jalan atau mengurangi jumlah kendaraan (logika matematika sederhana), mengurangi kesalahan (defect) dengan cara meningkatkan kepedulian terhadap mutu.
·         Menggunakan bank data pengalaman sebelumnya, tidak keluar dengan ide unik/ ide baru. Padahal sudah terbukti bahwa metode yang selama ini diterapkan tidak memberikan hasil. Atau “Mungkin” tahu, tetapi tetap PD (percaya diri), merasa bahwa idenya sudah bagus. Problem terjadi bukan karena ide saya yang buruk, tapi karena orang lain yang tidak support.

Akibatnya tidak heran bila strategi yang dijalankan tidak mampu memberikan hasil yang memuaskan, atau bahkan tidak mampu membawa perusahaan keluar dari krisis atau tidak mampu mengangkat kinerja perusahaan.

    Untuk keluar dari strategi yang umum, untuk menciptakan strategi yang unik, ada 2 hal sederhana yang bisa diterapkan:
      1. Membangun pola pikir “think different”. Ketika pola pikir Anda sudah diarahkan untuk selalu berpikir “think different”, maka otak anda akan diarahkan untuk mencari sesuatu yang baru.
       2. Menetapkan definisi “STRATEGI UNIK”, bahwa Strategi unik adalah strategi yang hanya bisa diterapkan pada satu perusahaan.  Kenapa ?? Karena setiap perusahaan pasti memiliki karakter permasalahan dan celah peluang yang berbeda. Anda harus “terlebih dahulu” memahami apa kekurangan dan kelebihan perusahaan ? Apa celah yang bisa digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya dan opportunity yang ada ?

Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah contoh strategi unik yang dibuat dengan cara menggali celah peluang yang ada.  
-          Identifikasi celah peluang, kondisi saat ini :
o   Perusahaan memiliki 10 jenis produk. Produk B memiliki profit lebih besar karena materialnya di produksi sendiri. Produk C kompetitornya adalah produk impor dengan harga 40% lebih mahal. Saat ini 70% pemenuhan kebutuhan produk C dalam negeri dipenuhi oleh  produk import, karena belum banyak perusahaan yang mengetahui bahwa produk C sudah ada di lokal.
-          Strategi Unik   
o   Memanfaatkan kelebihan profit produk B yang lebih besar à maka perusahaan memutuskan untuk menjual produk B lebih banyak.
o   Sedangkan untuk produk C, karena selisih harga masih cukup besar à maka perusahaan menaikkan harga produk C sebesar 10%.
o   Untuk Marketing, perusahaan menetapkan untuk fokus melakukan promosi pada produk B dan produk C.

Strategi tersebut diatas tidak menggunakan strategi umum, tidak mengunakan metode yang sama dengan metode sebelumnya dan yang pasti hanya bisa diberlakukan untuk perusahaan tersebut, jadi kita bisa katakan bahwa strategi tersebut adalah STRATEGI YANG UNIK. 





Catatan penulis : Strategi tersebut diatas adalah kasus nyata yang pernah diterapkan di salah satu perusahaan dan  mampu menaikkan profit perusahaan tanpa menambah sumber daya sales.   


Penulis 
Imanuel Iman
Managing Partner Sentral Sistem Consulting

Senin, 15 Juni 2015

3 Tipe Pemimpin Dalam Memecahkan Masalah



1.      Pemimpin tipe Pemadam kebakaran
Pemimpin tipe ini adalah pemimpin yang bekerja cepat setelah ada kebakaran. Mengambil tindakan untuk segera memadamkan api, namun tindakannya hanya sebatas menghilangkan masalahnya saja, tidak mencari akar penyebab kebakaran. Api padam, tugas selesai. Misalnya mesin rusak, segera memerintahkan untuk memperbaiki mesin yang rusak. Material datang terlambat, follow up untuk mempercepat kedatangan material. Produksi terlambat, memerintahkan untuk lembur guna mengejar keterlambatan. ‘Karyawan baru’ melakukan kesalahan; tegur karyawan supaya karyawan tersebut tidak mengulangi kesalahan. Kelemahan pemimpin tipe ini adalah bekerja setelah ada kebakaran, dan hanya fokus memadamkan api, layaknya petugas pemadam kebakaran. Masalah pada perusahaan tidak berkurang, karena hanya apinya saja yang dipadamkan. Pemimpin tipe ini tidak memberikan warisan untuk perusahaan. Selama dia memimpin perusahaan, kebakaran memang cepat tertangani, namun jumlah kebakaran (masalah) tidak berkurang

2.      Pemimpin tipe Individu Pemecah Masalah    
Pemimpin tipe ini adalah pemimpin yang pintar. Pemimpin tidak hanya bekerja untuk memadamkan api, tetapi juga mempelajari akar penyebab kebakaran. Melakukan perbaikan terhadap akar masalah, sehingga masalah secara perlahan bisa berkurang. Misalnya banyak terjadi kebakaran, pemimpin kemudian terjun langsung melakukan analisa, menemukan bahwa kebakaran banyak terjadi karena instalasi sistem kelistrikan yang tidak baik, kemudian memerintahkan untuk melakukan perbaikan pada  sistem kelistrikan. Tipe pemimpin seperti ini adalah tipe pemimpin yang dominan dalam bekerja, terjun langsung melakukan analisa dan memerintahkan tindakan yang harus dilakukan. Warisan dari pemimpin tipe ini adalah perusahaan yang lebih stabil, kebakaran yang lebih sedikit karena perbaikan sudah lebih mengarah ke akar masalah, namun memiliki karyawan yang terbiasa pasif (bekerja sesuai arahan).  
  

3.      Pemimpin tipe coach
Pemimpin tipe ini adalah pemimpin yang fokus pada pembinaan (coach). Mengajarkan team untuk memiliki kemampuan analisa yang baik. Mendiskusikan masalah, mendorong team untuk memecahkan masalah, melakukan bimbingan hingga team mampu memecahkan masalah dengan baik. Pemimpin seperti ini adalah tipe pemimpin yang walaupun sibuk dengan keseharian, namun masih tetap mau meluangkan waktu  untuk melakukan bimbingan.  Warisan dari pemimpin tipe ini adalah perusahaan yang stabil karena team yang hebat.

Termasuk tipe pemimpin seperti apakah Anda? 


Penulis
Imanuel Iman
Sentral Sistem Consulting

Rabu, 10 Juni 2015

Membangun Perilaku Aman di Tempat Kerja



 





Magetan - Korban kecelakaan kerja Pabrik Gula (PG) Redjosari di Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan, bertambah menjadi 5 orang. Korban luka berat bernama Siswagimin (47) sekitar pukul 05.00 WIB, Selasa (17/9/2013) menghembuskan nafas terakhirnya, setelah satu per satu rekan-rekannya meninggal dunia. Suami dari Sulasmi (45) sempat menjalani perawatan di RS Lavalette Malang. Kedatangan jenazah sekitar pukul 13.00 WIB disambut tangis histeris kerabatnya di rumah duka Desa Sukowidi Kecamatan Nguntoronadi. "Kita mendapat kabar sekitar jam 04.30 WIB kalau beliau sudah meninggal dunia. Selama dirawat di Rumah Sakit Lavalette kondisinya terus menerus kritis karena luka bakarnya sangat parah," kata Puryadi, keluarga korban kepada detikcom. Pihak keluarga hanya bisa pasrah menerima kematian karyawan harian yang telah mengabdi selama 24 tahun di PG Redjosarie. Ayah satu anak tersebut hanya bekerja saat musim giling atau sekitar 6 bulan saja dalam setahun.

"Keluarga sudah pasrah, mungkin ini sudah menjadi takdirnya. Untuk hak-haknya belum diberikan, tapi sudah ada pembicaraan antara keluarga almarhum dan pihak pabrik. Saat ini dari pihak pabrik baru diberi untuk biaya pemakaman dan selamatan selama tujuh hari," tambahnya.
Selanjutnya, kata dia, pihaknya berharap segera diberikan hak dan santunan keluarga almarhum. Serta perhatian terhadap anak almarhum soal biaya kuliah dan pekerjaan. "Mudah-mudahan keselamatan kerja karyawan lebih diperhatikan," ucapnya sedih. Sementara Siswagimin dimakamkan sekitar pukul 15.10 WIB di pemakaman desa setempat setelah disholatkan oleh para keluarga dan tetangganya. 

Sedangkan korban kritis yang masih dirawat di RSU dr Soetomo yakni Parlan (31) warga Desa Garon. Sebelumnya, Minggu (15/9/2013) dini hari sekitar pukul 02.05 WIB terjadi insiden ledakan di Ketel Penguapan Pabrik Gula (PG) Redjosarie di Kecamatan Kawedanan Kabupaten Magetan. Ledakan ketel terjadi saat proses produksi pembuatan gula tengah berlangsung. Akibatnya 4 orang tewas dan 4 lainnya luka-luka. (Sumber : http://news.detik.com/surabaya/read/2013/09/17/170321/2361345/475/korban-tewas-ledakan-ketel-pg-redjosarie-jadi-lima-orang).

Mengapa Perilaku?
Sekilas melihat berita diatas, terdapat kesedihan dari pihak keluarga yang ditinggalkan oleh korban dari kecelakaan kerja tersebut. Para korban tersebut bekerja, dengan tujuan utamanya adalah untuk memenuhi segala impian dan harapan dari keluarganya. Lantas setelah terjadinya kecelakaan ini, kemungkinan impian dan harapan terhadap korban akan pupus. Anak korban, yang mungkin tadinya memiliki harapan untuk sekolah sampai dengan jenjang pendidikan tingkat tinggi pun akan pupus, seorang istri korban yang mungkin tadinya memiliki impian memiliki tempat tinggal / rumah sendiri pun akan lenyap, karena sang ayah / suami meninggal dunia akibat kecelakaan kerja.

Yang ada dipikiran kebanyakan orang, “kecelakaan itu kan sudah takdir…”, “kan itu sudah nasibnya, kenapa kita harus dipermasalahkan sih?”. Pemikiran seperti ini salah satu bagian dari kepasrahan, artinya mengurungkan ide-ide pencegahan terhadap kecelakaan kerja. Padahal kita sebagai manusia telah diberikan anugrah oleh Tuhan yaitu akal pikiran untuk memecahkan suatu permasalahan.Sementara di pihak organisasi / perusahaan menganggap bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan “kesalahan” korban yang tidak mengindahkan peraturan, tidak mengikuti SOP, dll. Paradigma “Blaming the person” ini yang memandang bahwa faktor manusialah sumber penyebab (root cause) kecelakaan dan tidak melihat faktor kesalahan manusia merupakan sebagai akibat dari suatu keadaan.

Berbagai program dan usaha untuk memperkecil jumlah kecelakaan nampaknya masih belum maksimal, baik dari sisi pengusaha dan pemerintah. Program-program tersebut hanya fokus pada penegakan aturan, pendekatan rekayasa teknis, administrasi, dan APD. Pada dasarnya program-program tersebut hanya menurunkan tingkat keparahan (severity) dari suatu risiko kecelakaan.

 Dari gambar diatas terlihat bahwa kasus-kasus kecelakaan yang tampak pada permukaannya saja, tetapi kejadian nyaris celaka (near misses) dan perilaku berisiko (at-risk behavior) tidak pernah dilakukan analisa dan evaluasi karena tidak tampak. Semakin banyaknya perilaku berisiko maka kemungkinan terjadinya kasus kecelakaan dengan kategori fatal akan tinggi.


Dewasa ini pendekatan sistem manajemen yang banyak diterapkan sudah mengarah kepada pendekatan perilaku dan budaya. Pendekatan perilaku dan budaya banyak diterapkan karena paradigma lama bahwa kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia dan juga belum membudaya aspek K3-nya. Organisasi dengan budaya K3 baik, maka kemungkinan perilaku orang dalam organisasi tersebut lebih aman, dibandingkan dengan organisasi yang masih belum membudaya aspek K3-nya.

Dalam dunia akademisi, berkembang saat ini berbagai konsep dan metode untuk menilai dan menganalisa budaya K3 di organisasi / perusahaan. Dan juga para praktisi yang sudah mengedepankan perilaku pada saat mengembangkan sistem K3 yang ada diperusahaan. Tetapi memang masih terdapat perdebatan antar akademisi dan praktisi K3, karena hal ini merupakan bukan keilmuan yang pasti, terdapat faktor-faktor lain yang belum ter identifikasi atau menjadi noise pada hasil penelitian. Perilaku aman bukanlah asumsi, perasaan pribadi dan pengetahuan umum. Dibutuhkan suatu program yang secara spesifik dari masing-masing organisasi dalam menerapkan / membangun perilaku aman di tempat kerja.

Pengembangan Teori ABC Perilaku
Didalam ilmu psikologi, dikembangkan metode dalam menganalisa suatu perilaku. Teori ini dikenal sebagai Model dasar ABC yang dikembangkan oleh B.F. Skinner pada tahun 1930an. Dimana A = Antecedent / Pemicu, B = Behavior / Perilaku, C = Consequence / Konsekuensi. Seperti gambar dibawah ini yang menjelaskan mengenai Teori ABC secara sederhana.




Menurut penjelasannya, Antecedent merupakan kejadian / event yang mendukung terjadinya Perilaku. Misalnya : ketika seseorang akan menyebrang jalan (pencetus/pemicu), maka orang tersebut akan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tidak ada kendaraan yang melintas (perilaku), dari perilaku tersebut maka konsekuensi dari perilakunya, orang tersebut menyeberang dengan kondisi aman.Penjelasan diatas merupakan yang sederhana, sebenarnya dari peneliti-peneliti psikologi, menemukan bahwa pembentukan perilaku tersebut terjadi karena ada proses pembentuknya, tidak terjadi begitu saja.

Dari teori diatas, Sentral Sistem Consulting mengembangkan lebih lanjut mengenai proses pembentukan Perilaku Aman di Tempat Kerja, tentu saja berdasarkan pengalaman kami di beberapa perusahaan yang telah kami tangani. Perilaku merupakan tindakan atau aktifitas yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung dan secara otomatis / secara refleks dengan niat ataupun tidak. Contohnya adalah apabila ada seseorang yang akan menyeberang jalan, maka tindakan yang dilakukan adalah menengok kanan dan kiri. “Menengok kanan dan kiri” tersebut merupakan perilaku yang dituangkan dalam bentuk tindakan yang secara spontan dilakukan seseorang ketika ada pemicu atau antecedent yaitu menyeberang jalan.
Apabila diamati dari contoh diatas, maka perilaku tersebut merupakan perilaku positif dalam bidang keselamatan merupakan Perilaku Aman. Tetapi perilaku positif tersebut tidak semata-mata timbul begitu saja, ada faktor pembentuk perilakunya. Faktornya antara lain adalah :
·         Informasi yang diterima (pengetahuan)
·         Persepsi
·         Pola pikir
·         Kebiasaan (habit)

Informasi yang diterima
Informasi yang didapat oleh seseorang dapat membentuk persepsi yang nantinya akan diyakini kebenarannya, misalnya adalah informasi secara formal atau informal. Dari contoh kasus diatas, bahwa seseorang akan “menengok kanan dan kiri” sebelum menyeberang jalan karena telah mendapatkan informasi dari formal yaitu lewat pendidikan ataupun pelatihan, ditekankan dari sejak dini, bahwa apabila akan menyeberang maka harus “menengok kanan dan kiri”, jika tidak dilakukan maka akan tertabrak oleh kendaraan. Dan informasi tersebut diyakini kebenarannya karena melakukannya berulang kali. Begitu juga dengan keselamatan kerja, apabila seorang pekerja secara terus-menerus mendapatkan informasi positif dari praktek kerja aman, maka tidak menutup kemungkinan dapat merubah seorang pekerja untuk selalu melakukan praktek kerja aman dan dapat menjadi perilaku yang positif / perilaku aman.

Persepsi
Merupakan tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Pengalaman masa lalu dan asumsi merupakan beberapa pembentuk dari persepsi. Salah satu persepsi dalam hal keselamatan kerja bahwa pengendalian bahaya yang terbaik adalah menggunakan Alat Pelindung Diri, padahal menghilangkan potensi bahaya (eliminasi) adalah langkah terbaik dalam mengendalikan bahaya itu sendiri. Pengalaman masa lalu dari pembentukan persepsi sangat erat juga dalam membentuk perilaku aman. Contohnya adalah seseorang yang pernah mengalami near miss, maka kejadian tersebut menjadi pengalaman positif yang masuk kedalam pikirannya dan menjadi persepsi. Dan kemudian seseorang tersebut akan terus mengingat kejadian itu dan mencoba untuk mencegah atau menghindarinya.

Pola Pikir
Salah satu pembentuk perilaku seseorang adalah Pola Pikir. Tindakan seseorang yang dipengaruhi oleh pola pikir dapat terjadi baik di sengaja atau tidak di sengaja. Pola pikir ini juga dipengaruhi oleh informasi yang diterima baik formal atau informal (pengetahuan), pengalaman, dan emosi. Contoh sederhana pola pikir yang terjadi di dunia K3 yaitu keselamatan kerja merupakan tanggung jawab perusahaan, jadi apabila terjadi kecelakaan kerja merupakan tanggung jawab perusahaan. Padahal Keselamatan Kerja merupakan tanggung jawab masing-masing individu. Sebaik-baiknya pengendalian bahaya dilakukan, apabila seseorang masih berperilaku tidak aman (negative), maka kemungkinan besar terjadi kegagalan dalam pengendalian bahayadan muncul near miss sampai dengan terjadinya kecelakaan kerja.

Kebiasaan (Habit)
Tindakan yang dilakukan terus menerus dan diakui kebenarannya (walaupun tidak selalu benar) akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan tersebut bisa berbentuk positif atau negative. Kebiasaan negative / positif tersebut dilakukan juga dengan coba-coba (trial and error) dan barulah diakui kebenarannya.  Contoh mengenai kebiasaan dalam bidang K3, adalah “Pointing and Calling” yang dilakukan oleh orang-orang jepang untuk memastikan bahwa tindakan yang dilakukan sudah aman atau benar sesuai dengan SOP dengan menunjuk obyek dan berkata “Yosh!!!”. Hal ini ternyata sudah menjadi kebiasaan positif dan mempengaruhi perilaku aman di tempat kerja serta mencegah terjadinya kecelakaan kerja.



Dari faktor-faktor pembentuk perilaku diatas, dapat di Tarik kesimpulan mengenai pendorongterjadinya perilaku tidak aman di tempat kerja. 




Budaya ->Pengaruh Lingkungan
Seseorang berperilaku tidak aman dipengaruhi oleh budaya dan di telaah lebih dalam karena pengaruh lingkungan. Di Indonesia yang namanya “Nekat” dalam melakukan tindakan tertentu bahwa orang tersebut dapat dikatakan “Jantan” atau “Hebat”. Padahal orang tersebut telah melakukan suatu tindakan yang tidak aman (Unsafe Act). Misalnya, orang yang sedang bekerja di ketinggian tanpa menggunakan body harness, mereka beranggapan bahwa hal tersebut adalah jantan dan memang pekerjaan seorang laki-laki. Hal tersebut adalah salah besar, karena tidak disadari bahwa mereka melakukan tindakan tidak aman (Unsafe Act).



Tidak Paham ->Pengetahuan Kurang
Pengetahuan seseorang sangat mempengaruhi persepsi dan pola pikir dan akhirnya membentuk perilaku dan sikap. Pengetahuan ini bisa didapat dari kegiatan formal (sekolah, training, dll) atau informal (sharing, membaca, dll). Begitu juga dengan K3, apabila seseorang melakukan tindakan tidak aman, sebaiknya kita tidak mengkoreksi tindakannya, namun di analisa terlebih dahulu mulai dari pemahaman dari tindakan yang dilakukan. Contohnya, banyak orang yang beranggapan apabila memasukkan tangan ke dalam kantong saku celana sambil berjalan itu berbahaya, karena jika orang tersebut tersandung maka keseimbangan badannya akan berkurang ditambah lagi tidak ada tumpuan dari tangan untuk menahan badan.

Paham -> Karena Kondisi
Seseorang melakukan tindakan tidak aman bisa secara sadar dan paham, namun dikarenakan kondisi yang tidak mendukung atau infrastruktur yang kurang memadai, mereka melakukan tindakan tidak aman tersebut, dengan alasan yang beragam, seperti “biar cepat”, “urgent”, dll. Tetapi hal tersebut sangat lah tidak tepat, bagaimanapun tindakan tidak aman bisa memicu terjadinya kecelakaan, walaupun dilakukan pengawasan. Contohnya, ada beberapa orang yang melakukan pekerjaan di ketinggian tapi tidak menggunakan tangga atau staging yang sesuai. Padahal tindakan itu merupakan unsafe act yang dapat memicu kecelakaan kerja.


Paham -> Mengacuhkan / Meremehkan
Tindakan tidak aman yang dilakukan walaupun mereka paham bahwa itu tidak benar selanjutnya bisa karena mereka mengacuhkan / meremehkan. Hal itu karena mereka memiliki pengalaman yang berulang dan tidak mengalami kecelakaan. Kita tidak boleh meremehkan / mengacuhkan potensi bahaya sekecil apapun, karena setiap aktifitas kita pasti memiliki potensi bahaya walaupun risiko yang kecil. Contohnya, banyak perusahaan yang menganggap pekerjaan dengan tingkat risiko “Low” atau kecil tidak perlu untuk di review kembali atau dilakukan kontrol terhadap pengendaliannya. Padahal pengendalian bahaya harus selalu di review untuk melihat seberapa efektif penerapannya, agar tidak terjadi kecelakaan.

Paham -> Tidak Sengaja / Human Error
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia tidak luput dari lupa, lalai, lengah dan human error. Namun kebanyakan hal ini dijadikan senjata Pamungkas didalam hasil investigasi insiden. Sebaiknya faktor ini di analisa setelah semua faktor telah terinvestigasi dengan tepat.

Kesimpulan
Dalam membentuk perilaku aman di tempat kerja bukanlah mimpi. Banyak perusahaan-perusahaan yang telah membentuk perilaku aman di tempat kerja dan terbentuknya budaya K3 di tempat kerja. Sehingga, K3 merupakan bagian yang tidak terpisahkan didalam aktifitas bisnis perusahaan. Faktor pendorong yang telah dijelaskan diatas adalah hasil dari pengamatan dan pengalaman penulis bukan semata-mata penelitian yang mendalam mengenai hal ini.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan adalah sebagai berikut :
·      Program K3 yang dibuat perusahaan Hanya Fokus terhadap risiko yang bersifat kritis. Namun untuk menekan perilaku tidak aman sangat jarang di sentuh oleh perusahaan.
·      Identifikasi bahaya yang dilakukan perusahaan belum menyentuh kepada perilaku / tindakan seorang pekerja, sehingga apabila terjadi insiden yang tidak teridentifikasi sebelumnya didalam identifikasi bahaya memiliki kecenderungan akan menyudutkan pekerja. Padahal penjelasan diatas menyebutkan faktor pendorong seseorang melakukan tindakan tidak aman ada beberapa.
·      Pencegahan terhadap perilaku tidak aman akibat pengaruh lingkungan adalah dengan membuka wawasan terhadap hal-hal yang selama ini dianggap biasa dilakukan (budaya) menjadi hal yang harus dijadikan perhatian. Misalnya dengan melakukan pelatihan, seminar, forum diskusi, pemasangan poster, dll.
·      Pencegahan terhadap perilaku tidak aman akibat pengetahuan yang kurang bisa dilakukan juga dengan menambah wawasan kepada pekerja hal-hal yang selama ini belum diketahui dalam bidang K3. Bisa dilakukan dengan pelatihan, seminar, forum diskusi, tool box meeting, dll.
·      Pencegahan terhadap perilaku tidak aman akibat kondisi adalah dengan membuat perencanaan pekerjaan yang baik. Dan memasukkan hal-hal yang berkaitan dengan K3 tanpa terkecuali. Perencanaan pekerjaan yang baik dapat juga mencegah terjadinya insiden.
·      Pencegahan terhadap perilaku tidak aman akibat meremehkan / mengacuhkan adalah dengan membuka pola pikir pekerja. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara yang strategis dan terarah. Memang tidak mudah membuka pola pikir seseorang, harus selalu dilakukan intervensi terhadap orang tersebut. Peran serta seorang pemimpin sangat penting dalam perubahan pola pikir ini.
·      Dan terakhir adalah pencegahan terhadap perilaku tidak aman akibat human error, adalah dengan menerapkan sistem pengendalian bahaya dengan metode “error proofing” atau “Pokayoke”. Banyak perusahaan yang sudah menerapkan pengendalian ini, contoh sederhananya adalah pemasangan double push button pada mesin stamping di industri manufaktur. Ini untuk mencegah tangan yang lain terjepit pada mesin tersebut dikarenakan tidak terkendali.



·    Peran serta seorang pemimpin perusahaan sangatlah dominan dalam menerapkan perilaku aman ditempat kerja. Karena pemimpin menjadi “role model” dalam berperilaku aman di tempat kerja dan penentu sukses dalam menerapak sistem manajemen K3.