Rabu, 18 Juli 2012

TEORI KEMUNGKINAN vs TEORI FAKTA


Berkecimpung dalam pelaksanaan problem solving di banyak perusahaan, baik dalam pelaksanaan problem solving dengan metode analisa sederhana, atau dengan metode QCC maupun dengan metode yang lainnya saya menemukan ada satu kesalahan yang cukup fatal yang banyak dilakukan oleh para praktisi dalam melakukan analisa problem solving.

Banyak praktisi yang melakukan analisa berdasarkan “TEORI KEMUNGKINAN” bukan berdasarkan “TEORI FAKTA”. Ketika ada masalah, banyak praktisi yang langsung masuk pada argumentasi “Mungkin karena …..” atau “Mungkin karena …..”. Seringkali secara teori apa yang dikatakan memang benar, misalnya :
·         Operator tidak mengikuti instruksi kerja. Memang benar jika operator tidak mengikuti instruksi kerja bisa terjadi masalah
·         Atau jig (alat bantu) bermasalah, yang secara teori tentunya disetujui oleh semua orang bahwa jig (alat bantu) yang bermasalah bisa mengakibatkan reject
·         Dan teori kemungkinan lainnya.

Kondisi ini bisa saja terjadi karena banyak dari kita diajarkan untuk langsung mengunakan tulang ikan ketika melakukan analisa masalah. Dan banyak dari kita diajarkan untuk menggunakan tulang ikan untuk mencari kemungkinan penyebab. Bahkan tidak jarang kita diajarkan untuk membuat tulang sebanyak-banyaknya, menggali ide kemungkinan sebanyak-banyaknya hingga terkadang terkesan lebay J (dahulu saya juga mengalami proses pembelajaran seperti ini).

Namun apakah “TEORI KEMUNGKINAN” memang “MENJADI FAKTA” pada kasus yang sedang kita hadapi ?? Seringkali secara hal tersebut memang benar dan tidak terbantahkan. Namun “SECARA FAKTA” apakah teori kemungkinan tersebut memang terjadi pada kasus yang sedang kita hadapi.

Dan celakanya dalam melakukan problem solving, seringkali para praktisi tidak melakukan klarifikasi Fakta terhadap teori kemungkinan. Mereka langsung melakukan tindakan perbaikan berdasarkan “TEORI KEMUNGKINAN” yang diyakini oleh mereka. Bahkan banyak pula program QCC yang melakukan validasi “TEORI KEMUNGKINAN” dengan mengunakan metode Branstorming, urun rembuk, voting pendapat (misalnya voting berdasarkan opini : 5 punya korelasi tinggi, 4 korelasi menengah, 3 korelasi sedang, 2 korelasi kurang, 1 tidak ada korelasi atau sistem penilaian lainnya yang berdasarkan opini), bukan berdasarkan Fakta atau pengujian ilmiah.  Akibatnya analisa  bukan dilakukan dengan menggunakan sistem problem solving yang benar (pengujian ilmiah) tetapi berdasarkan SISTEM OPINI.

Untuk mengatasi masalah inilah, saya kemudian merubah tahapan problem solving untuk tidak menganalisa masalah pada tahapan pertama. Tahapan pertama dalam pelaksanaan problem solving adalah “MELAKUKAN IDENTIFIKASI FAKTA”. Berdasarkan identifikasi Fakta inilah, baru kemudian kita menyimpulkan penyebab masalahnya. Dengan cara ini, kita diajarkan untuk bicara berdasarkan fakta bukan Opini.

Kelebihan lain dari tahapan awal analisa melalui proses “identifikasi fakta” sebelum pelaksanaan analisa adalah: 
·         Fakta tidak bisa diperdebatkan, berbeda dengan opini yang bisa diperdebatkan oleh semua orang. Diskusi menggunakan fakta juga bisa mengurangi perdebatan yang tidak perlu, perdebatan yang terjadi karena keyakinan seseorang akan “Teori Kemungkinan” yang ada dalam benak mereka. 
·         Identifikasi fakta juga seringkali mempermudah, menuntun kita untuk menemukan penyebab yang  sebenarnya. 

Mudah-mudahan sharing ini bisa bermanfaat.

Salam Transformasi


Imanuel Iman
@imanueliman_ssc
Penulis buku Transforming Organization

Tidak ada komentar:

Posting Komentar