Senin, 10 Desember 2012

“ TIDAK MUDAH UNTUK MELAKUKAN PERBAIKAN TERHADAP SISTEM ”



Sebagian besar orang memiliki sifat ingin selalu dianggap baik di mata orang lain, sehingga itu membuat mereka menolak sesuatu hal yang dapat memalukan/merugikan dirinya, termasuk sikap penolakan terhadap kesalahan yang telah dilakukannya, apalagi jika kesalahan mereka akan diketahui oleh banyak orang.

Begitu pula dalam dunia pekerjaan, semua pekerja ingin selalu terlihat baik di mata atasan mereka sehingga membuat mereka juga akan menolak dan melakukan pembelaan diri terhadap kesalahan yang mereka lakukan. Hal tersebut juga memberikan pengaruh dalam membangun sistem K3L di perusahaan, khususnya dalam pembuatan HIRADC/IADL (Hazard Identification, Risk Assessment, and Determining Cotrol/Identifikasi Aspek Dampak Lingkungan). Pembuatan HIRADC/IADL memerlukan input dari unsafe act dan condition (perilaku dan kondisi tidak aman) di tiap proses/area pekerjaan sebagai salah satu sumber bahaya/aspek di lingkungan pekerjaan yang selanjutnya akan disampaikan ke pihak Manajemen untuk segera dapat diperbaiki. Oleh karena itu, dokumen unsafe act dan unsafe condition harus disetujui terlebih dahulu sebelum disampaikan ke manajemen.

Akan tetapi, yang terjadi adalah “penyangkalan” ketika ingin meminta persetujuan dari unsafe act yang telah dilakukan tersebut. Hal ini mungkin juga karena tidak mau kelemahan-kelemahannya dibuka di publik, (“nggak kok, nggak seperti itu”). Sebagian bahkan hampir semua pekerja akan sulit menerima dan menyetujui bahwa mereka telah melakukan unsafe act dalam aktifitasnya sehari-hari, apalagi kalau diminta untuk menandatangani dokumen unsafe act tersebut sebagai bukti bahwa mereka telah melakukannya.

Oleh karena itu, banyak perusahaan yang telah menggunakan media foto sebagai bukti bahwa pekerja telah melakukan perilaku yang tidak aman dan media bukti pelanggaran yang tidak bisa disangkal.  Akan tetapi, bagaimana untuk perusahaan yang dilarang menggunakan foto karena sistem/hasil produksinya bersifat rahasia? Maka akan sangat sulit sekali memperoleh bukti persetujuan dari para pekerja. Sungguh sangat sulit memang sedangkan yang kita inginkan adalah mereka mengakui secara terbuka (kesadaran).

Respon pertama yang timbul adalah mereka akan saling lempar sana dan lempar sini, tidak ada yang mau menandatangani dokumen tersebut, apalagi mengakuinya. Sebagai contoh adalah pengalaman yang saya alami. Semua departemen yang terkait tidak ada satupun yang mau menandatanganinya. Kepala unit bilang: “Dokumen ini yang berhak menandatangani adalah kepala seksi.” Kepala seksi bilang: “Ya harusnya pekerjanya sendiri dong. Lalu, siapa yang akan menandatanganinya? Akhirnya saya mencoba untuk terus melakukan pendekatan kepada mereka dan memberikan pengertian bahwa ini bukan ajang untuk menilai kesalahan, menjelek-jelekkan atau menjatuhkan satu sama lain tetapi ini untuk melakukan improvement/perbaikan sistem yang ada agar menjadi lebih baik lagi. Setelah saya memberitahu seperti itu, maka mereka pun mau menandatanganinya, bahkan mereka menambahkan dan menuliskan sendiri unsafe act & condition yang masih kurang atau  belum tercantum di dokumen tersebut. Berdasarkan keterangan di atas, maka kita dapat mengambil pelajaran bahwa membangun sebuah sistem itu tidak mudah, perlu usaha, kesabaran, komitmen yang tinggi, dan konsisten. Selain itu, diperlukan sifat yang tidak menyerah untuk selalu mencoba mencari jalan keluar.

Selain itu juga, yang lebih menarik lagi adalah kita bisa mengubah pola pikir seseorang melalui sebuah pendekatan “perbaikan sistem” itu sendiri. Mudah-mudahan artikel ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan sekaligus sebagai pelajaran untuk para pembaca dalam membangun semangat baru dalam melakukan perbaikan terhadap sistem di lingkungan kerja masing-masing.

Tetap semangat dan keep doing our best for improvement…….!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar